Sunday, 10 April 2016

DOSA SIAPA? - Yose Piliang (fb)

Pagi sekali, ketika seorang sohib menelpon dan merepet soal kasus SD, ponakan seorang Irjen Polisi yang memaki-maki Polwan. Dia kesal dengan wartawan, dia kesal dengan polisi, dia juga kesal dengan sang Jenderal. Karena kasus itu menyebabkan ayah SD yang tak lain abang kandung sang Jenderal meninggal dunia karena penyakit jantung.
Aku mendengarkannya mengomel, mencaci maki dan mengungkapkan kesedihannya atas meninggalnya abang sang Jenderal akibat kejadian itu.
"Cobalah kam pikir, diakan masih anak-anak, kan wajar kalau dia agak membanggakan sedikit bapaknya yang Jenderal polisi? Sampai meninggal bapaknya, kekmanalah bedosanya media ini, itu lagi bapak udanya," ujarnya dengan suara tersengal.
Aku membiarkannya sampai letih mengomel, dengan kata-kata sederhana saja. "Oooooo." Selesai dia becakap, akupun menjawab.
"Kau tau kejadiannya itu di simpang warkop jurnalis?" tanyaku.
"Nggak kak. Tapi apapun ceritanya, diakan masih anak-anak? Tak pantas dia digituin, tak pantas pulaklah bang Anu (menyebut nama sang Jenderal) nggak ngakui dia anaknya, tak pantaslah pulak polisi mencari-cari orang tuanya, nggak pantas itu, nggak pantas kali!" Teriaknya marah.
Baiklah, kita bahas kasus ini dengan pikiran tenang dan dimulai dengan pertanyaan DOSA SIAPA?

Kejadian yang berlangsung usai UN itu, tepat di simpang Warkop Jurnalis, jaraknya tak sampai 20 meter. Tak heran, jika jumlah wartawan yang di TKP belasan hingga puluhan orang. Dan aku termasuk duduk di situ.
Saat kejadian, aku marah sekali. Untung bukan aku yang menjadi Polwan. Kalau aku Polwan, aku yakin, akan menampar mulut si gadis dan menjadikan remaja-remaja itu menggantikan patung di simpang air mancur Jalan Sudirman. Untung, aku bukan Polwan.
Perasaan serupa aku yakin dialami teman-teman wartawan. Si gadis saat kejadian mengenakan seragam yang kemejanya penuh coretan, rambutnya diklintong dengan warna kecoklatan, sepertinya dia sudah berhias karena bibirnya menggunakan lipstik. Dia konvoi dua mobil, satu mobil jenis Kijang dan dirinya bersama teman-teman perempuan berada dalam satu mobil. Saat melintas, Kijang tidak diberhentikan petugas, tapi mobil yang dikenderai si gadis and the gang, bagasinya terbuka. Polwan yang bertugas mengantisipasi tradisi konvoi pelajar usai UN menyetop kenderaan. Melihat mereka distop, wartawan yang sedang mengirim berita, sebagian ngerumpi, sebagian lagi serius cerita sontak berlari. Ada media televisi, radio, online hingga fotografer.
SD merepet karena mereka diberhentikan. Semua isi repetannya pasti semua sudah lihat. Jika SD tak menyebut nama sang Jenderal, kisahnya pasti berbeda. Judulnya kuprediksikan : Diberhentikan Konvoi, Siswi Anu Maki-maki Polwan. Tapi dia menyebutk nama Arman Depari, seorang Irjen sekarang di BNN yang kebetulan, di karir awalnya malang melintang di Sumatera Utara. Beritanya jadi seksi. Lebih 1 juta orang menonton videonya, dan seimbang pula orang yang mencaci makinya. Diapun dibully. Tak hanya dia, Bapakudanya pun kena imbas, bahkan Polwan yang melepas mereka dan meminta remaja-remaja ini pulang ke rumah pun, dibully. Ayahnya meninggal dan aku tak ingin mengatakan, ada kaitannya dengan bulan-bulanan netizen karena itu sudah hak preogratif Tuhan. Dosa siapa?

1. Benar SD masih remaja, tapi apakah yang dilakukannya dengan seorang Polwan yang dengan baik-baik memeriksa mereka, itu benar? Semua menjawab SALAH. 

2. Wartawan memberitakannya, salah? Tidak, mereka menjalankan tugasnya. Tapi jika dilihat dari UU, media melanggar UU Pers, UU Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik karena nama asli SD tak boleh disiarkan, wajahnyapun seharusnya diblur karena dia masuk kategori anak-anak. Pertanyaannya, apakah media kita pernah memandang ini? Setiap hari kita melihat pelanggaran UU Pers, UU Penyiaran, dan sejumlah UU di media Nasional dan tak ada satupun yg menghentikan pelanggaran itu dengan alasan tak ada yang mengadu atau keberatan. Semua aturan dan perundang-undangan kita menjadi abu-abu. 

3. Salahkah Arman Depari yang pada saat dikonfirmasi membantah jika SD bukan anaknya? Lalu marah dan menelpon Kapolresta Medan memintanya memeriksa orang tua si anak ?

4. Salahkah netizen yang mengamuk dan mencercanya habis-habisan?
Sohib, dosa siapakah ini? Apakah dosa teknologi? Apakah kita, aku, kau, dia, mereka, semuanya sadar, bahwa Indonesia saat ini sudah kehilangan adab? Adabnya Indonesia meski terdiri dari ribuan suku? Tontonan tak menuntun, berita yang tak santun, kebebasan pers, kebebasan HAM yang kebablasan, UU yang tumpang tindih dan seri
ngkali mengangkangi Pancasila sila ke 5, Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Dunia Cyber sudah menjadi virus yang merusak ubun-ubun generasi kita.
SD lupa caranya santun dengan orang yang lebih tua. Media lupa caranya menyampaikan berita dengan cara mendidik.
Netizen lupa, bagaimana mengkritik dengan cara tak menghakimi.
Kita sdh berada di peradaban abu-abu........
Tak tahu dimana hitam.............yang mana putih...........

sumber: https://www.facebook.com/yose.piliang/posts/10207834911983796?fref=nf&pnref=story
Tulisan mama di akun facebooknya buat aku tertarik untuk membaginya sama temen-temen sesama blogger. 
Makasih sekali lagi udah sempetin baca postingan ini. Gue harap ada hikmah yang bisa kalian ambil dari postingan gue.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog